Pengertian istilah Iman
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara
istilah syar’i, iman adalah "Keyakinan dalam hati, Perkataan di lisan,
amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan
berkurang dengan maksiat". Para ulama salaf menjadikan amal termasuk
unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang". Ini adalah definisi
menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin
Rahawaih, madzhab Zhahiriyah dan segenap ulama selainnya.
[1]
Dengan demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati,
perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
“Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.”
—QS. Al Fath [48] : 4
Imam Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia
bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan
berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa
bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia
berkurang dengan sebab meninggalkan amal.”
[2]
Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu
orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat
mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa
bertambah dan berkurang.”
[3]
Rukun Iman
- Seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 hal: Mengimani adanya Allah. Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali Allah. Mengimani uluhiah
Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan
mengingkari semua sembahan selain Allah Ta’ala. Mengimani semua nama dan sifat Allah
(al-Asma'ul Husna) yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang
nabi-Nya tetapkan untuk Allah, serta menjauhi sikap menghilangkan makna,
memalingkan makna, mempertanyakan, dan menyerupakanNya.
- Iman kepada para malaikat Allah
- Mengimani adanya, setiap amalan dan tugas yang diberikan Allah kepada mereka.
- Iman kepada kitab-kitab Allah
- Mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah ucapan-Nya dan bukanlah
ciptaanNya. karena kalam (ucapan) merupakan sifat Allah dan sifat Allah
bukanlah makhluk. Muslim wajib mengimani bahwa Al-Qur`an merupakan
penghapus hukum dari semua kitab suci yang turun sebelumnya.
- Iman kepada para rasul Allah
- Mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang
Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para
makhluknya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa
yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan,
karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata.
Wajib mengimani bahwa semua wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah benar
dan bersumber dari Allah Ta’ala. Juga wajib mengakui setiap nabi dan
rasul yang kita ketahui namanya dan yang tidak kita ketahui namanya.[4]
- Mengimani semua yang terjadi di alam barzakh (di antara dunia dan
akhirat) berupa fitnah kubur (nikmat kubur atau siksa kubur). Mengimani
tanda-tanda hari kiamat. Mengimani hari kebangkitan di padang mahsyar
hingga berakhir di Surga atau Neraka.
- Iman kepada qada dan qadar, yaitu takdir yang baik dan buruk
- Mengimani kejadian yang baik maupun yang buruk, semua itu berasal
dari Allah Ta’ala. Karena seluruh makhluk tanpa terkecuali, zat dan
sifat mereka begitupula perbuatan mereka adalah ciptaan Allah.[5]
Dasar hukum
Diantara dasar hukum yang disebut di dalam Al-Qur'an,
“Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman): “Kami
beriman kepada Allah dan kitab yang diturunkan kepada kami, dan kitab
yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya,
dan kitab yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kitab yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
—QS. Al-Baqarah: 136
“...dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya.”
— QS. Al-Anbiya`: 19-20
Hadits Jibril, tentang seseorang yang bertanya kepada nabi.
"“Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi
menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya;
kitab-kitabNya; para rasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir
Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” ...Kemudian
lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya
kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku
menjawab, ”Allah dan rasulNya lebih mengetahui,” Dia bersabda, ”Dia
adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.”"
Cabang-cabang keimanan
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah,
“Iman itu ada 70 atau 60-an cabang. Yang paling
tinggi adalah perkataan ‘la ilaha illallah’, yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu (juga) merupakan
bagian dari iman.”
— HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35.
Perkataan ‘Syahadat’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di
lisan. Menyingkirkan duri dari jalan menunjukkan bahwa iman harus dengan
amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus
dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah
dalil yang menunjukkan bahwa iman yang benar hanyalah jika terdapat tiga
komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di
lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan. Maka tanpa adanya amalan,
meskipun ada keyakinan dan ucapan, tidaklah disebut beriman.